PENDIDIKAN DI BERBAGAI NEGARA
Latar Belakang Lahirnya IPS
IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah social studies. Nama social studies makin terkenal ketika pemerintah mulai memberikan dana untuk mengembangkan kurikulum tersebut. Di Indonesia social studies dikenal dengan nama studi sosial. Dalam Kurikulum 1975, pendidikan ilmu sosial kemudian ditetapkan dengan nama Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). IPS merupakan sebuah mata pelajaran yang dipelajari dari tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi pada jurusan atau program studi tertentu. Pembahasan mengenai latar belakang lahirnya IPS akan dilihat dari dua aspek, yakni latar belakang sosiologis dan pedagogis dengan mempertimbangkan aspek kemasyarakatan dan ilmu-ilmu sosial yang dikaji dalam IPS.
1. Latar Belakang Sosiologis
IPS dengan nama social studies pertama kali digunakan dalam kurikulum sekolah Rugby di Inggris pada tahun 1827. Dr. Thomas Arnold, direktur sekolah tersebut adalah orang pertama yang berjasa memasukkan IPS (social studies) ke dalam kurikulum sekolah.
Latar belakang dimasukkannya IPS ke dalam kurikulum sekolah berangkat dari kondisi masyarakat Inggris pada waktu itu yang tengah mengalami kekacauan akibat revolusi industri yang melanda negara itu. Kaum kapitalis dan pemerintah yang kurang memperhatikan nasib kaum buruh yang mengakibatkan terjadinya pemerasan dan penindasan. Kehidupan antar kaum buruh dan antara buruh dengan majikan digambarkan oleh filosuf Inggris Thomas Hobbes sebagai homo homoni lopus bellum omnium contra omnes ( manusia adalah srigala bagi yang lain, mereka saling berperang).
Singkatnya, manusia menjadi kehilangan kemanusiaannya (dehumanisasi).Sebagai respon terhadap keadaan yang demikian ironis, Arnold memasukkan IPS ke dalam kurikulum sekolahnya. Upayanya kemudian ditiru oleh banyak sekolah lainnya, dan sekaligus menjadi awal berkembangnya IPS sebagai mata pelajaran di sekolah.
2. Latar belakang munculnya IPS di Amerika Serikat berbeda dari Inggris. Setelah Perang Budak atau Perang Saudara antara penduduk Utara-Selatan (1861- 1865), di Amerika terjadi kekacauan sosial. Segregasi social masih kental dan lekat dengan kehidupan masyarakat Amerika pada saat itu. Sebagai respon atas keadaan masyarakat tersebut, para ahli kemasyarakatan Amerika Serikat mencari upaya untuk membantu proses pembentukan bangsa Amerika Serikat, antara lain dengan mengembangkan IPS sebagai jawaban atas situasi sosial. IPS dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, yang dipeopori oleh sekolah - sekolah di negara bagian Wisconsin sejak 1892. Setelah dipelajari secara terus menerus sampai awal dasa warsa abad ke-20, pada tahun 1916 panitia nasional untuk pendidikan menengah Amerika Serikat menyetujui pengembangan dan pemasukan IPS ke dalam kurikulum sekolah. Paparan tersebut menggambarkan bahwa situasi masyarakat di Inggris pada tahun 1827, yaitu awal industri modern, mirip dengan keadaan masyarakat Indonesia dewasa ini. Industri sedang berkembang dan tanda-tanda dehumanisasi nampak pula di Indonesia. Di antara indikator yang menunjukkan kemiripan tersebut adalah terjadinya berbagai tindak kejahatan, seperti perampokan yang disertai pembunuhan, kurang terjaminnya kaum buruh, individualisme yang mulai menggerayangi masyarakat perkotaan, tindakan mengobyekkan para penganggur dan pencari pekerjaan melalui human trafficing, terdesaknya alat-alat produksi tradisional oleh alat produksi buatan negara asing, dan penumpukan kekayaan pada golongan minoritas.
3. Latar belakang Pedagogis
Di samping sebagai reaksi atas keadaan masyarakat, seperti di Inggris, Amerika, dan Indonesia, lahirnya IPS juga dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menyiapkan peserta didik agar menjadi warga masyarakat yang bertanggungjawab, yakni dapat mewujudkan kewajiban dan hak-haknya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari IPS, peserta didik diharapkan menjadi warga masyarakat yang memiliki watak sosial yang selalu sadar bahwa hidupnya hanya dapat berlangsung bersama dan bekerja sama dengan orang lain, dan orang lain hanya mau hidup bersama dan bekerja sama bila mendapat perlakuan yang baik dari mereka. Dalam kaitan ini, ilmu-ilmu sosial tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, karena sifat ilmiah yang dimiliki oleh ilmu-ilmu sosial tersebut. Dalam teori pendidikan digambarkan bahwa peserta didik dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh menyeluruh. Dalam kehidupan, mereka tidak memisahkan suatu aspek kehidupan dari aspek kehidupan yang lain. Aspek geografi, sejarah, ekonomi, sosiologi, antropologi, politik dan sosial lainnya tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial seseorang, bahkan saling terkait dan berhubungan. Disiplin ilmu-ilmu sosial dipandang tidak mendukung prinsip pedagogis di atas, karena berbagai disiplin itu membawa masyarakat dalam keadaan terpisah-pisah. Pengajaran IPS juga lebih dekat dengan keadaan sekarang yang ada dalam lingkungan hidupnya. Dengan demikian tidaklah terlalu sukar bagi peserta didik untuk mengamati, menggambarkan dan memikirkannya, karena masih berada dalam jangkauan mereka, baik dari segi waktu maupun tempatnya.
Bahan dan materi IPS merupakan kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik saat ini (kontekstual). Pendapat lain menyatakan bahwa dengan IPS, pengajaran tentang kehidupan sosial dapat berlansung secara lebih efisien, karena seluruh aspek kehidupan disajikan sekaligus. Dalam satu kali jangkau, seluruh segi kehidupan dapat dipelajari oleh peserta didik. Kebenaran yang diperoleh peserta didik akan lebih besar pula, karena mereka tidak melihat masyarakat bagian per-bagian, tetapi menyeluruh.
Mengingat berbagai kemiripan dan kegunaanya bagi pembinaan masyarakat Indonesia, maka pengembangan IPS di dunia pendidikan di Indonesia merupakan kebutuhan pedagogis sebagaimana halnya pengalaman di Inggris dan Amerika Serikat sebagai wahana pembinaan sikap sosial bagi peserta didik.
B. Tiga Tradisi Pembelajaran IPS
Pembelajaran IPS memiliki tiga tradisi yang berbeda satu dengan yang lain. Ketiga tradisi tersebut adalah:
• Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan,
• Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial, dan
• Pembelajaran IPS sebagai inkuiri yang reflektif.
Gambaran tentang ketiga tradisi pembelajaran IPS tersebut akan dipaparkan dalam bahasan berikut.
• Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan strategi pengajaran IPS yang berhubungan dengan penanaman tingkah laku, pengetahuan, pandangan, dan nilai yang harus dimiliki oleh peserta didik, yang harus diajarkan dengan sesuai kekayaan nilai-nilai budaya yang berkembang di lingkungan peserta didik dan guru yang mengajarkan IPS. Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan merupakan proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Pewarisan budaya ini merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai yang baik dan disepakati oleh masyarakat.
• Pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaraan di Amerika Serikat bertujuan membina warga negara agar dapat memenuhi kewajiban dan tanggung jawab yang baik, taat kepada hukum, membayar pajak, memenuhi kewajiban belajar, dan memiliki dorongan diri yang kuat untuk mempertahankan negara (Sumaatmadja,1980). Pembelajaran IPS sebagai transmisi kewarganegaraan juga merupakan suatu proses pewarisan budaya dalam suatu masyarakat tertentu.
Tradisi pembelajaran IPS model transmisi kewarganegaaraan ini, oleh sebagian ahli dipandang sebagai bentuk proses pendidikan yang statis, bahkan konservatif. Hal ini dikarenakan di tengah kehidupan masyarakat yang dinamis di tengah perkembangan dunia yang terus mengalami perubahan, setiap anak manusia dituntut untuk memiliki kemampuan, pemikiran, dan keterampilan yang lebih luas dan kompleks.
• Pembelajaran IPS sebagai ilmu sosial didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik dapat berpikir secara kritis, mampu mengobservasi dan meneliti seperti apa yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial.
• Tujuan pengajaran IPS sebagai ilmu sosial adalah menciptakan warga negara yang mampu belajar dan berpikir secara baik, seperti yang dilakukan oleh ahli ilmu sosial. Cara berpikir demikian harus menjadi landasan untuk menanggapi,menginterpretasikan dan menggunakan pengetahuan sosial. Peserta didik harus mampu berpikir sesuai dengan bidang keilmuan ilmu sosial yaitu berpikir sesuai dengan struktur ilmu sosial. Dalam hal ini tiap bidang keilmuan memiliki teknik untuk melakukan penelitian yang memerlukan pengujian suatu hipotesis.
Guru yang mengajarkan IPS sebagai ilmu sosial harus memiliki keyakinan bahwa cara ini merupakan sarana yang baik untuk mempersiapkan warga negara yang dapat berpikir seperti ahli ilmu sosial.
Pembinaan warga negara atau warga manyarakat tidak hanya ditekankan pada aspek kemampuan intelektuanya, tetapi diseimbangkan dengan aspek kemampuan emosional dan keterampilannya.
• Pembelajaran IPS sebagai inkuiri reflektif. Inkuiri dalam bahasa Indonesia berarti pertanyaan atau pemeriksaan, sedangkan inkuiri pada konteks IPS tidak hanya berarti pertanyaan atau pemeriksaan, tetapi lebih luas dari pada pengertian tersebut. Sehubungan dengan itu, John Jarolimek mengemukakan hal berikut. Jadi, pengertian inkuiri tidak hanya terbatas pada pertanyaan atau pemeriksaan, tetapi meliputi pula proses penelitan, keingintahuan, analisis sampai dengan penarikan simpulan tentang hal-hal yang diperiksa atau diteliti. Dalam rangka pengajaran IPS, wawasan inkuiri ini diarahkan kepada kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dan menjadi orang yangsecara bebas dapat memecahkan sendiri masalah yang dihadapinya. Pengertian inkuiri juga meliputi pengidentifikasian masalah sosial yang harus ditelaah. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, yang dimaksudkan dengan inkuiri reflektif adalah proses berpikir yang mendalam dan merefleksikan pengalaman, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan sebagai proses merenung. Oleh karena itu, proses inkuairi reflektif atau berpikir dan merenung berhubungan pula dengan sikap penilaian pengungkapan pengalaman. Kunci proses inkuiri reflektif tardapat pada konsep-konsep, minat, nilai, berpikir kritis, dan terlibat ke dalam ha-hal yang janggal di sekitar. Pembelajaran IPS sebagai inkuiari reflektif berlangsung ketika peserta didik dilibatkan ke dalam suasana kehidupan yang nyata, yang penuh dengan persoalan yang harus diteliti dan dipikirkan secara kritis.
Pengajaran IPS sebagai inkuiri reflektif atau sebagai proses penelaahan dan pemikiran yang mendalam, merupakan teknik atau strategi pembelajaran yang bermanfaat dalam membina peserta didik menjadi kritis, kreatif, dan mampu memecahkan masalah yang dihadapinya.
Di beberapa negara maju mempunyai tingkat kompleksitas yang berbeda-beda oleh karena itu tujuan pembelajaran dengan pemberian materi social studies di tingkat pendidikan dasar dan menengah antara satu negara dengan negara lain berbeda. Misalnya sebagai berikut :
1. Jerman Barat : pembelajaran social studies ditujukan untuk menumbuh kembangkan semangat demokrasi dengan munculnya berbagai partai politik. Akan tetapi setelah Jerman Barat dan Jerman Timur menyatu saat ini maka pembelajaran social studies diarahkan pada persoalan nasionalisme dan tantangan global.
2. Inggris : pembelajaran social studies diarahkan untuk melegitimasi pembelajaran social science, khususnya sosiologi.
3. Di beberapa negara di benua Afrika : social studies digunakan untuk meningkatkan citra dan martabat mereka selepas dari penjajahan kolonial, di samping untuk membangkitkan nasionalisme, persatuan dan kesatuan serta dalam rangka transformasi buadaya politik.
4. Jepang : social studies dipancangkan sebagai alat untuk membangun kerangka dasar bagi terciptanya masyarakat demokratis.
5. Amerika Serikat dan Canada : social studies secara terus menerus digunakan sebagai jalan yntuk mempersiapkan anak didik menjadi warga negara yang efektif dalam tatanan masyarakat yang demokratis.
Penjelasan di atas memberikan gambaran, bahwa materi social studies dalam ranah pendidikan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, terkait dengan upaya pembentukan mental manusia dalam interaksinya dengan sesama.
Sistem Pendidikan Indonesia
India dan Malaysia merupakan contoh bagi hadirnya pengaruh sistem pendidikan kolonial Inggris atas kelanjutan sistem pendidikan yang berlaku di kedua negara tersebut. Beberapa praktek pendidikan yang dilaksanakan Inggris ternyata diteruskan, bisa jadi karena dianggap masih relevan, baik oleh India maupun Malaysia. Pengalaman yang sama bisa dipakai untuk menjelaskan akar sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia. Bedanya, meskipun pengaruh penjajahan Belanda di Indonesia telah berlangsung selama tiga setengah abad, justru sistem pendidikan yang banyak digunakan adalah masa kependudukan Jepang. Pasca kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia mengalami serangkaian transformasi dari sistem persekolahannya (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 267-268). Namun demikian pendidikan nasional sebagai suatu sistem bukanlah merupakan suatu hal yang baku. Suatu sistem merupakan suatu proses yang terus-menerus mencari dan menyempurnakan bentuknya (H.A.R. Tilaar, 1999:1). Meskipun demikian, pendidikan di Indonesia selama ini belum mampu menghasilkan lulusan yang dapat diandalkan dalam menciptakan lapangan kerja, bahkan lulusan yang dihasilkan juga masih disanksikan kualitasnya.
Dalam Undang-undang Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan Prasekolah
Disebut prasekolah karena anak pada usia antara 3 tahun sampai 5 tahun yang dimaksudkan menjadi peserta pendidikan diarahkan untuk persiapan dan adaptasi bagi pendidikan berikutnya di SD. Metode dan materi pelajarannya berpola learning by doing, dengan memperbanyak permainan untuk meningkatkan daya kreativitas anak. Umumnya TK terdiri dua tingkat, yaitu: TK Kecil usia 4 tahun dan TK Besar usia 5 tahun.
Umumnya kegiatan belajar di TK sederhana, materi pelajarannya berkisar pada pengenalan warna, benda, huruf dan angka, selebihnya diberikan permainan dan keterampilan untuk kreativitas anak, seperti menggunting, melipat, atau mewarnai (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 268-269).
Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun yang terdiri atas program pendidikan 6 tahun yang diselenggarakan di SD dan 3 tahun di SMP. Kurikulum pendidikan dasar menerapkan sistem semester yang membagi waktu belajar satu tahun ajaran menjadi dua bagian waktu, yang masing-masing disebut semester gasal dan semester genap. Kurikulum pendidikan dasar merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di SD atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SMP atau Madrasah Tsanawiyah (MTS).
Padanan dari SD adalah MI, sedangkan SMP adalah MTS. Bedanya, SD dan SMP berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sedangkan MI dan MTS di bawah Departemen Agama (Depag). Di samping itu, komposisi kurikulum agamanya lebih banyak di MI dan MTS dengan rasio 70% umum:30% agama, sedangkan di SD dan SMP hanya memberikan pelajaran agama dua jam pelajaran dalam satu pekan.
Isi kurikulum pendidikan dasar memuat mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Kerajinan Tangan dan Kesenian, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Inggris, dan Muatan Lokal. SD menggunakan sistem guru kelas, kecuali untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, sedangkan SMP menggunakan sistem guru bidang studi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 269-270).
Sistem Pendidikan di Jepang
Jepang merupakan salah satu negara termaju dalam berbagai bidang kehidupan: ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, sosial, politik, dll. Kemajuan-kemajuan ini tentu berkaitan erat dengan kemajuan pendidikan.
Sistem pendidikan di Jepang dibangun atas prinsip-prinsip:
• Legalisme
• Administrasi yang demokratis
• Netralitas
• Penyesuaian dan penetapan kondisi pendidikan
• Desentralisasi.
Pendidikan bertujuan:
1. Mengembangkan kepribadian secara penuh dengan
2. Berupaya keras membangun manusia yang sehat pikiran dan badan,
3. Yang mencintai kebenaran dan keadilan,
4. Menghormati perseorangan,
5. Menghargai kerja,
6. Mempunyai rasa tanggungjawab yang dalam, dan
7. Memiliki semangat independen sebagai pembangun negara dan masyarakat yang damai.
Sistem administrasi pendidikan dibangun dalam empat tingkat : pusat prefectural (antara propinsi dan kabupaten), municipal (antara kabupaten dan kecamatan), dan sekolah. Masing-masing tingkat administrasi pendidikan tersebut mempunyai peran dan kewenangan yang saling mengisi dan bersifat kerjasama. Disamping itu, terdapat asosiasi-asosiasi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua yang mendukung pengembangan sekolah.
Tujuan pendidikan tersebut adalah untuk membesarkan anak yang sehat pikiran dan badan serta penuh estetika, sehingga dihasilkan murid yang ideal, yaitu murid yang selalu melatih diri sendiri, mengikuti aturan, bersedia bekerja secara sukarela, dan mempunyai dasar untuk berpikir secara internasional.
Pada umumnya metode pengajaran yang digunakan di sekolah-sekolah di Jepang adalah kombinasi dari :
• Penjelasan dari dan tanya jawab dengan guru,
• Diskusi antar murid, dan
• Eksplorasi oleh murid sendiri dengan menggunakan alat pembelajaran.
Peraturan pendidikan di Jepang dapat dibedakan dalam dua periode, yaitu sebelum dan sesudah perang Dunia II. Sebelum perang, kebijakan pendidikan yang berlaku adalah Salinan Naskah Kekaisaran tentang Pendidikan (Imperial Rescript on Education). Dinyatakan bahwa para leluhur Kaisar terdahulu telah membangun Kekaisaran dengan berbasis pada nilai yang luas dan kekal, serta menanamkannya secara mendalam dan kokoh. Materi pelajarannya dipadukan dalam bentuk kesetiaan dan kepatuhan dari generasi ke generasi yang menggambarkan keindahannya. Itulah kejayaan dari karakter Kaisar, dan ia juga telah mengendalikannya dengan sumber-sumber berpendidikan. Pendidikan hendaknya mampu mengafiliasikan seseorang kepada orang tuanya, suami isteri secara harmoni, sebagai sahabat sejati, menjadi diri sendiri yang sederhana dan moderat, mencurahkan kasih sayang kepada semua pihak, serta menuntut ilmu dan memupuk seni. Dari situlah pendidikan tersebut dapat mengembangkan daya intelektual dan kekuatan moralnya yang sempurna, selalu menghormati konstitusi, dan menjalankan hukum. Dalam kondisi darurat sekalipun, diharapkan dapat mempersembahkan keberanian demi negara, melindungi dan menjaga kesejahteraan istana Kaisar seusia langit dan bumi. Maka, tidaklah menjadi orang yang baik dan setia semata, melainkan mampu melanjutkan tradisi leluhur yang amat mulia.
Sesudah perang, mulai 3 November 1946, konstitusi baru Jepang menetapkan kebijakan pendidikannya atas dasar hak asasi manusia, jaminan kebebasan berfikir, dan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan akademik, dan hak bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan kemampuan mereka. Pada Maret 1947, melalui Peraturan Pendidikan Nasional (School Education Law) ditetapkan susunan dasar pendidikan keseluruhan atas dasar 6-3-3-4 beserta tujuan khusus pada tiap jenjangnya (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 187-189).
Pada Maret 1947 juga berlaku Hukum Dasar Pendidikan (Fundamental Law of Education) yang pada hakekatnya merupakan statement filsafat pendidikan demokratis.
Sistem pendidikan di Jepang dibangun atas empat tingkat, yaitu: pusat, perfektual (antara Provinsi dan Kabupaten), municipal (antara Kabupaten dan Kecamatan), dan sekolah. Sistem administrasi tersebut menerapkan kombinasi antara sentralisasi, desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management), dan partisipasi masyarakat. Di samping itu, terdapat asosiasi-asosiasi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua yang mendukung pengembangan sekolah. Dalam sistem tersebut terdapat peran dan hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sekolah, asosiasi-asosiasi tersebut, dan masyarakat yang saling mengisi sehingga tercipta sinergi yang memungkinkan sistem tersebut menjadi relatif efisien dan efektif. Hal ini merupakan faktor utama pencapaian mutu pendidikan di Jepang yang relatif tinggi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 175).
Adapun sistem pendidikan umum di Jepang ditetapkan lebih dari satu abad yang lalu dan keberadaannya berlangsung lebih lama dari pada kebanyakan negara. Sistem pendidikan Jepang pada dasarnya adalah Sekolah Dasar (SD) 6 (enam) tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 3 (tiga) tahun, Sekolah Menengah Atas (SMA) 3 (tiga) tahun, Universitas 4 (empat) tahun, dan Lembaga Pendidikan Tinggi 2 (dua) tahun. Wajib belajar adalah dari SD sampai SMP. Untuk masuk SMA dan Universitas pada dasarnya harus mengikuti ujian masuk. Sekolah ini mengajarkan keterampilan khusus. Di samping beberapa jenjang pendidikan tersebut, di Jepang juga terdapat program pendidikan prasekolah, baik dalam bentuk Taman Kanak-Kanak (TK) maupun Play Group (PG).
Jika dilihat dari pengelola sekolah, dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu Sekolah Negeri adalah sekolah yang dikelola pemerintah, Sekolah provinsi adalah sekolah yang dikelola pemerintah daerah, Sekolah Swasta adalah sekolah yang dikelola badan hukum.
Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu Kelompok Bermain (KB) atau Play Group (PG) dan Taman Kanak-Kanak (TK).
Play Group (PG) adalah merupakan fasilitas yang disediakan bagi para orang tua yang bekerja sehingga tidak dapat mengasuh anaknya di siang hari. Peserta yang masuk Hoiku-jo adalah bayi hingga anak usia 5 tahun. Mereka yang berusia 3 tahun ke atas biasanya mendapat pendidikan seperti TK. Kebanyakan pusat penitipan anak seperti ini dikelola oleh pemerintah daerah.
Abd. Rahman Assegaf (2003: 176-177) memaparkan bahwa TK di Jepang menerima murid berusia 3 sampai 5 tahun untuk lama pendidikan 1 sampai 3 tahun. Lebih dari 50% TK di Jepang dikelola oleh swasta, sisanya oleh pemerintah kota dan hanya sebagian kecil yang merupakan TK Negeri. Meski demikian, semua TK adalah pendidikan prasekolah di bawah naungan Departemen Ilmu Pengetahuan Pendidikan dan Kebudayaan yang dikelola berdasarkan hukum pendidikan .
TK atau yang disebut youchien bertujuan untuk mengasuh anak-anak usia dini dan memberikan lingkungan yang layak bagi perkembangan jiwa anak. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada beberapa cara yang dilakukan, antara lain: (1) Merancang pendidikan yang mengembangkan fungsi tubuh dan jiwa secara harmoni melalui pembiasaan pola hidup yang sehat, aman, dan menyenangkan; (2) Menumbuhkan semangat kemandirian, kehidupan berkelompok yang penuh kegembiraan dan kerjasama; (3) Mengenalkan kehidupan sosial dan membina kemampuan bersosialisasi; (4) Mengarahkan penggunaan bahasa dengan benar serta menumbuhkan minat berkomunikasi dengan sesama; (5) Mengarahkan minat untuk berkreasi melalui pembelajaran musik, permainan, menggambar dan lain-lain.
Pendidikan Wajib
Wajib sekolah berlaku bagi anak usia 6 sampai 15 tahun, tetapi kebanyakan anak bersekolah lebih lama dari yang diwajibkan. Tiap anak bersekolah di SD pada usia 6 tahun hingga 12 tahun, lalu SMP hingga usia 15 tahun. Pendidikan wajib ini bersifat cuma-cuma bagi semua anak, khususnya biaya sekolah dan buku. Untuk alat-alat pelajaran, kegiatan di luar sekolah, piknik dan makan siang di sekolah perlu membayar sendiri. namun bagi anak-anak dari keluarga yang tidak mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu ada juga bantuan untuk kebutuhan belajar, perawatan kesehatan, dan lain-lain. Seorang anak yang telah tamat SD diwajibkan meneruskan pendidikannya ke jenjang SMP. Dengan demikian, sekolah wajib ditempuh selama 9 tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP .
Hampir semua siswa di Jepang belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama SMP, dan kebanyakan mempelajarinya paling tidak selama 6 tahun. Mata pelajaran wajib di SMP adalah bahasa Jepang, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, seni rupa, pendidikan jasmani, dan pendidikan kesejahteraan keluarga. Berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu sehingga jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 177-178).
Persamaan dan Perbedaan
Dari kajian sistem pendidikan di atas, penulis menemukan adanya
beberapa persamaan dan perbedaan sistem pendidikan yang diterapkan pada dua negara tersebut. Adapun persamaannya:
1. Sistem penjenjangan persekolahan pendidikan di kedua negara tersebut sama-sama menggunakan pola 6-3-3-4, yaitu 6 tahun bagi SD, 3 tahun bagi SMP, 3 tahun bagi SMA, dan 4 tahun di perguruan tinggi.
2. Usia siswa yang belajar pada setiap jenjangnya ada yang sama, yaitu pendidikan dasar 9 tahun antara usia 6-15 tahun, sekolah menengah atas usia 16-18 tahun, dan pendidikan tinggi antara 19-25 tahun.
3. Kedua negara tersebut mewajibkan belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama di SMP, dengan demikian siswa diharapkan mempunyai kemampuan yang berwawasan internasional.
Sedangkan perbedaan yang menyolok pada sistem pendidikan di kedua negara ini sebagai berikut:
1. Dalam tujuan umum pendidikan Jepang mengutamakan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai nilai-nilai individual, dan menanamkan jiwa yang bebas. Sedangkan di Indonesia pendidikan bertujuan agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
2. Jepang tidak memasukkan mata pelajaran pendidikan agama di semua jenjang persekolahan (memisahkan pendidikan agama dengan persekolahan), sedangkan di Indonesia pendidikan agama adalah mata pelajaran yang wajib untuk setiap jenjang persekolahan.
3. Dilihat dari kurikulum yang dikembangkan dapat dikemukakan beberapa hal:
a. Kurikulum TK di Jepang tidak membebani anak, karena anak tidak dijejali materi-materi pelajaran secara kognitif tetapi lebih pada pengenalan dan latihan ketrampilan hidup yang dibutuhkan anak untuk kehidupan sehari-hari, seperti latihan buang air besar sendiri, gosok gigi, makan, dan lain sebagainya. Sedangkan kurikulum di Indonesia telah berorientasi pada pengembangan intelektual anak.
b. Mata pelajaran level pendidikan dasar di Jepang tidak seberagam yang dikembangkan di Indonesia, jumlahnya tidak banyak, sehingga berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu, maka jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda.
c. Di Indonesia jarang ditemukan adanya mahasiswa peneliti, lebih-lebih mahasiswa pendengar, sehingga yang ada mahasiswa reguler. Hal itu terjadi barangkali karena orientasi belajar bagi mahasiswa Indonesia jauh berbeda dengan mahasiswa Jepang.
4. Pendidikan wajib di Jepang gratis bagi semua siswa, bahkan bagi anak yang kurang mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat maupun daerah untuk biaya makan siang, sekolah, piknik, kebutuhan belajar, perawatan kesehatan dan kebutuhan lainnya, sedangkan di Indonesia masih sebatas slogan (kecuali di daerah tertentu, seperti kebijakan di Sukoharjo, tetapi baru terbatas biaya sekolah saja).
5. Sistem administrasi pendidikan di Jepang sudah lama menerapkan kombinasi antara sentralisasi, desentralisasi, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), dan partisipasi masyarakat. Sedangkan di Indonesia baru dalam proses peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi dan juga diberlakukan MBS.
Di samping itu juga ada perbedaan kecil dalam hal mulai masuknya anak pada pendidikan prasekolah, terutama di TK. Kalau di Jepang dimulai usia 3 tahun, sedang di Indonesia dimulai pada usia 4 tahun.
Kesimpulan
Dengan mengkaji persamaan dan perbedaan tersebut, dapat dikemukakan beberapa hal berikut:
1. Kebijaksanaan pendidikan di Indonesia masih merupakan warisan kebijakan kolonial, sehingga belum sesuai dengan kebutuhan riil rakyat.
2. Kebijaksanaan pendidikan di Indonesia sudah berubah, hal ini terjadi karena:
a) Tidak bersandar pada filosofi yang kuat.
b) Sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor non utama, misalnya: politik, LSM, media massa, pengamat pendidikan, organisasi massa, tokoh perorangan dan perguruan tinggi.
3. Pendidikan di Indonesia belum menemukan karakter bangsa dan belum mampu mempengaruhi ekonomi, politik maupun sosial budaya.
4. Dengan mengacu pada tujuan pendidikannya, pendidikan di Jepang dapat membangun karakter bangsanya, yaitu kejujuran, kedisiplinan, ketaatan dan tanggung jawab, sedangkan di Indonesia masih sangat universal.
5. Kurikulum yang dikembangkan belum sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak, terutama di tingkat TK dan SD, dan over load SMP dan SMA.
6. Semangat belajar rakyat Indonesia yang masih lemah, sehingga kemauan belajar mereka banyak yang masih karena kebutuhan formalitas. Hal ini menjadikan sepinya mahasiswa peneliti menurut mahasiswa pendengar.
Berpijak pada temuan di atas, guna meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, maka menurut hemat penulis perlu dilakukan beberapa hal berikut:
1. Kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah seyogyanya bertumpu pada filosofi yang kuat.
2. Dalam rangka mempererat pendidikan, pemerintah memberikan pendidikan gratis bagi semua peserta didik yang menempuh pendidikan dasar.
3. Meningkatkan anggaran di bidang pendidikan untuk penambahan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu.
4. Menyederhanakan kurikulum, dalam arti tidak over load pada masing-masing jenjang pendidikan, dan pengembangannya disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan psikologis anak.
5. Memantapkan sistem administrasi yang digunakan dalam mengelola lembaga-lembaga pendidikan.
Daftar Pustaka
Assegaf, Abd. Rachman. 2003. Internasionalisasi Pendidikan: Sketsa
Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat,
Yogyakarta: Gama Media.
Arifin, Anwar. 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional Dalam Undang-Undang Sisdiknas, Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Tilaar, H.A.R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Indonesia Tera.
Barnadib, Imam. 1986. Dasar-Dasar Pendidikan Perbandingan, Yogyakarta: Institute Press IKIP Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Jakarta: Sinar Grafika.
http://murniramli.wordpress.com/2007/03/16/taman kanak-kanak-di jepang
http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-01.html
http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-02.html
http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id09-03.html
http://www.clair.or.id.jp/tagengo/general/id/id11-04.html

Tidak ada komentar:
Posting Komentar